Gadai


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring dengan cepatnya akselerasi wacana Ekonomi Islam/Syariah di tengah-tengah masyarakat, fiqh muamalah menjadi bahan diskusi terus menerus. Persoalan yang selalu mengemuka adalah apakah fiqh muamalah persoalan hukum ataukah persoalan ekonomi. Ketika lafadz fiqh dan muamalah digabung menjadi satu, maka dia memiliki pengertian tertentu. Ia adalah kumpulan hukum yang di syari’atkan (dikenali lewat pesan-pesan suci Al-Qur’an dan Al-Hadist) dengan metode dan prosedur tertentu oleh orang yang kompeten (mujtahid) yang mengatur tentang hubungan kepentingan antar sesama manusia.
 Dari penelusuran seperti ini, maka fiqh muamalah lebih bermuatan isu-isu hukum dibandingkan dengan isu-isu ekonomi. Dengan bahasa lain, fiqh muamalah adalah aturan yang ditetapkan untuk mengatur bagaimana orang berinteraksi dengan sesamanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Makalah ini akan membahas tentang aturan yang berisi pembicaraan tentang hak manusia dalam hubungannnya satu sama lain yang diterapkan dalam praktek Gadai (Rahn).   

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bagaimana definisi tentang Rahn ?
2.      Bagaimana rukun dan syarat gadai?
3.      Bagaimana perbedaan anatara rahn dengan gadai konvensional?




C.    Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana hukum Gadai menurut islam, serta bagaimana praktek yang sesuai dengan ajaran islam. Juga untuk mengetahui perbedaan dengan gadai konvensional.

D.    Metodologi
            Dalam penyusunan makalah ini, metode yang kami gunakan dilakukan secara kepustakaan, yaitu dengan pengambilan data dari sumber-sumber buku di perpustakaan.




















PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gadai
Transaksi hukum gadai dalam fikih islam disebut al-Rahn. Kata al-Rahn berasal dari bahasa arab “rahana-yarhanu-rahnan” yang berarti menetapkan sesuatu. Secara bahasa menurut Abu Zakariyya Yahya bin Sharaf al- Nawawi pengertian al-Rahn adalah al-Subutwa al-dawam yang berarti “tetap” dan“ kekal”. Pengertian “tetap” dan “kekal” yang dimaksud merupakan makna yang tercakup dalam kata al—hasbuwa al-luzum“ menahan dan menetapkan sesuatu “. Menurut al-Bujairami mendefinisikan rahn, adalah penyerahan barang yang dilakukan oleh muqtaridl (orang yang berhutang) sebagai jaminan atas hutang yang diterima sebagai tanda kepercayaan saat hutang sulit dibayar.[1] Dengan demikian, pihak yang memberi hutang memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya apabila peminjam tidak mampu membayar hutangnya sesuai dengan yang disepakati.
Secara umum rahn dapat didefinisikan yaitu menjadikan suatu benda yang bernilai (menurut syara’) sebagai penguat hutang yang dapat dijadikan pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya dengan menjual atau memiliki benda tersebut.[2] Sebagai contoh seseorang menyerahkan sebidang tanah atau hewan sebagai agunan (jaminan) yang diletakkan dibawah kekuasaan yang berpiutang sampai dia dapat membayar hutangnya.
Pengertian gadai juga dapat ditemukan dalam pasal 1150 kitab Undang-Undang Hukum Perdata, gadai memiliki ciri-ciri sebagaiberikut : 1. Gadai diberikan atas benda bergerak; 2. Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai ; 3. Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur; 4. Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan utang tersebut. Karena itu makna gadai dalam bahasa hukum perundang – undangaan disebut sebagai barang jaminan, agunan, ruguhan, cagar, dan tanggungan.

B.     Dasar Hukum Rahn
Sebagai salah satu akad dalam fiqh muamalah, akad rahn terdapat secara sharih  dalam Al-Quran Q.S Al-Baqarah (2):283 :
  وَ اِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَ لَمْ تَجِدُ وا كَا تِبًا فَرِ هَا نٌ مَقْبُو ضَةٌٌ فَإِ نْ أَ مَنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُثؤَ د الذى اؤ تن أما   
 “Dan apabila kamu dalam perjalanan (dan sedang bermuamalah secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh SWT Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikan-nya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat di atas adalah lanjutan dari ayat Al-Quran sebelumnya yang membicarakan  tentang transaksi hutang-piutang yang menganjurkan untuk dicatat oleh seorang pencatat. Perlunya seorang pencatat ini sebagai suatu pegangan bagi kedua belah pihak (kreditur dan debitur) jika kelak terdapat perselisihan. Ia adalah pengikat amanah masing-masing pihak untuk tidak mudah saling mengkhianati sesama. Sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya , ayat di atas memberikan jalan keluar saat transaksi tersebut dilakukan di tengah perjalanan dan tidak ditemukan seorang pencatat. Jika hal tersebut terjadi, maka debitur dapat menggadaikan  (menjaminkan) barang yang dimilikinya. Maka, pesan yang terkandung dalam ayat tersebut secara jelas menunjukkan bolehnya (atau bahkan anjuran) untuk melakukan akad  gadai bagi kedua orang yang melakukan transaksi hutang-piutang, sebagai pengikat amanah masing-masing pihak.
Disamping ayat Al-Quran, rahn juga didasarkan pada hadis Nabi SAW
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya. (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).[3]

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Wallahu A’lam.[9] Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajar[10] dan Muhammad Al Amien Al Singqithi[11]
Contoh ayat Al-Quran dan Hadist di atas secara jelas menggambarkan fakta sejarah bahwa pada zaman Rosululloh SAW gadai telah dipraktekan secara luas. Dan seorang Murtahin[4] dapat memanfaatkan barang yang digadaikan kepadanya, selama ia mau merawatnya. Hal-hal tersebut merupakan sebuah landasan hadist yang cukup kuat bahwa gadai  adalah sesuatu yang dianggap syah dalam fiqh muamalah.
C.    Rukun dan Syarat Rahn
Rukun dan Syarat syahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut : [5]
1.      Ijab Qabul (Shighot)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja di dalamnya terkandung maksud  adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2.      Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah :
·         telah dewasa;
·         berakal;
·         atas keinginan sendiri.
3.      Adanya barang yang digadaikan (marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin adalah : 
·         dapat diserahterimakan
·         bermanfaat
·         milik rahin (orang yang menggadaikan)
·         jelas
·         tidak bersatu dengan harta lain
·         dikuasai oleh rahin
·         harta yang tetap atau dapat dipindahkan
4.      Marhun bih (utang)
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah : 
·         berupa utang yang tepat dapat dimanfaatkan;
·         utang harus lazim pada waktu akad;
·         utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

Menurut Abu Hanifah, sesuai dengan pandangannya tentang rukun akad-, rukun Rahn hanya ijab dan qabul. Sedangkan jumhur ulama berpendapat rukun rahn ada tiga disamping sighah ijab dan qabul. Rukun-rukun yang dimaksud adalah ‘aqid (rahin dan murtahin), marhun (barang jaminan) dan marhun bih (hutang yang merupakan hak murtahin). 

D.    Perbedaan antara Rahn dengan Gadai Konvensional
Akad Rahn (akad gadai) secara operasional memiliki sejumlah karakteristik yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang melaksanakan akad ini. Sejumlah karakteristik tersebut terkait dengan posisi marhun (barang gadai), Hak dan kewajiban serta larangan rahin dan murtahin, keberlangsungan dan terhentinya marhun, dan lain-lain. Beberapa karakteristik tersebut antara lain sebagai berikut :
1.      Pada dasarnya akad rahn adalah akad penjaminan utang rahin terhadap murtahin, agar hutang tetap dalam perhatian rahin untuk diselesaikan pada waktu yang telah disepakati. Maka, murtahin tidak diperkenankan mengambil keuntungan dengan mengambil prosentase dari sejumlah hutang rahin.
2.      Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin dilunasi.
3.      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali atas izin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatnya.
4.      Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
5.      Penjualan Marhun :
a)      Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin terlebih dahulu untuk segera melunasi hutangnya.
b)      Apabila rahin tetap tidak melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c)      Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d)     Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin
e)      Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta adsminitrasi.
Apa yang tergambar dalam praktek rahn diatas berbeda dengan pegadaian konvensional pada umumnya. Perbedaan tersebut antara lain :
§  Di dalam pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. Sedangkan dalam rahn hanya diperkenankan untuk mengambil sejumlah dana dari biaya perawatan dan sewa atas ruang pemeliharaan.
§  Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat aessor, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.













PENUTUP
A.    Kesimpulan
              Jadi dapat disimpulkan bahwa Rahn adalah menjadaikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan kita pembayar ketika berhalangan membayar hutang, rahn termasuk akad yang bersifat ’Ainiyah yaitu dikatan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminjam, titipan dan qirad.
              Dalam dasar hukum gadai ada dalil-dalil yang melandasi diperbolehkannya gadai yang berasal dari al-qur’an dan hadist.
              Rukun gadai yaitu akad, ijab kabul,akid,mahrun,barang yang digadai dan utang, sedangkan syarat gadai ialah orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
              Perbedaaan Rahn dan gadai konvensional yaitu kalau rahn syariah dilakuakn secara sukarela tanpamencari keuntungan, sedangkan gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong-menolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan persamaan antara keduanya adalah sama-sama adanya barang jaminan uatng 





DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Gadai Syariah di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada ,University Press
Huda, Qamarul. 2011. FIQIH Muamalah. Yogyakarta : Teras
Afandi, M.Yazid. 2009. Fiqh Muamalah. Yogyakarta : Logung Pustaka
https://pengusahamuslim.com/1022-tentang-gadai-al-rahn.html



[1] Afandi M.Yazid,Fiqih Muamalah, Yogyakarta : Logung Pustaka, 2009, hlm.147
[2] Huda Qamarul, FIQIH Muamalah, Yogyakarta : Teras, 2011, hlm.92
[3] https://pengusahamuslim.com/1022-tentang-gadai-al-rahn.html
[4]Murtahin adalah penerima barang jaminan; Dalam aplikasi perbankan syariah, murtahin merupakan salah satu rukun dari akad rahn dimana bank bertindak sebagai murtahin.
[5] Anshori Abdul Ghofur, Gadai Syariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University  Press, 2011, hlm.115

Komentar

Postingan Populer