KONSEP RASIONALITAS DALAM PERSPEKTIF ISLAM
KONSEP RASIONALITAS DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas tersruktur:
Mata kuliah : Mikro Ekonomi
Islam
Dosen pengampu : Ubaidillah S.E.,M.E.I
Disusun oleh :
Anas Mubarok (
1522201075 )
Aniq Yuliani W ( 1522201078 )
Dian Catur O ( 1522201084 )
Ratih Kusuma D ( 1522201101)
PROGAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PURWOKERTO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan
ekonomi mikro adalah menganalisa pasar beserta mekanismenya yang membentuk
harga relatif kepada produk dan jasa, dan alokasi dari sumber terbatas diantara
banyak penggunaan alternatif. Ekonomi mikro menganalisa kegagalan pasar, yaitu
ketika pasar gagal dalam memproduksi hasil yang efisien serta menjelaskan
berbagai kondisi teoritis yang dibutuhkan bagi suatu pasar persaingan sempurna.
Setiap analisis ekonomi
selalu didasarkan atas asumsi mengenai perilaku para pelaku ekonominya. Secara
umum seringkali diasumsikan bahwa dalam pengambilan keputusan ekonomi, setiap
pelaku selalu berpikir, bertindak dan berpikir secara rasional. Namun
persoalannya adalah rasionalitas itu sendiri mengandung muatan yang berbeda
dalam masyarakat. Boleh jadi rasional menurut seseorang, tetapi tidak rasional
menurut orang lain. Hal ini terjadi akibat dari perbedaan keyakinan dan
pengaruh budaya yang berlaku di masyarakat.
Bab ini membahas
mengenai rasionalitas dalam ekonomi islam, yang tentunya berbeda dengan
rasionalitas dalam ekonomi konvensional. Bagian awal bab ini membahas asumsi
dan jenis-jenis rasionalitas dan diakhiri dengan pembahsan rasionalitas dalam
perspektif islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian tentang konsep rasionalitas dalam perspektif islam?
C. Tujuan
1.
Dapat menjelaskan bagaimana pengertian tentang konsep rasionalitas dalam
perspektif islam.
D. Metodologi
Dalam menyusun makalah
ini metode yang kami gunakan adalah studi pustaka yaitu mengambil dari
sumber-sumber yang ada dibuku dan sebagian dari internet
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Asumsi Rasionalitas
Rasional adalah lawan
dari irasional, secara bahasa diartikan seperti ungkapan rational human
beings (manusia yang dapat berpikir), rational behaviuor (perilaku
yang masuk akal). Dan juga mengandung makna measurable inmatrical units
(dapat diukur dengan satuan angka, agreeable to reason atau dapat
disetujui dengan pertimbangan akal budi atau alasan, pertaining to or acting in
conformity to reason (bersinggungan atau bertindak sesuai akal budi). Makna
tersebut dapat diambil intinya bahwa rasional mengandung pengertian tentang
keputusan dan tindakan yang didasari atas pertimbangan akal budi.
Konsep rasionalitas ini telah mengakar kuat sejak masa neo klasik. Gagasan
awal konsep ini sebenarnya muncul dari Jeremy Bentham, meskipun banyak ekonom
menyangkal bahwa konsep ini dirujukkan dari ide Adam Smith. Menurut Bentham,
tindakan rasional manusia adalah pemuasan diri untuk memperoleh kesenangan dan
menghindari rasa sakit, bukan semata-mata sebagai cara pemenuhan motif ekonomi
manusia dalam pasar.[1]
B. Jenis Rasionalitas
Ada dua jenis
rasionalitas, yaitu rasionalitas kepentingan pribadi (self interest
rationality) dan present-aim rationality.
1.
Rasionalitas Kepentingan Pribadi
Prinsip pertama dalam ilmu ekonomi menurut edgeworth
adalah bahwa setiap pihak digerakkan hanya oleh self interst. Hal ini mungkin
saja benar pada masa-masa edgeworth, tapi salah satu pencapaian dari teori
utilitas modern adalah pembebasan ilmu ekonomi dari prinsip pertama yang
meragukan tersebut.
Self interest tidak harus selalu berarti memperbanyak
kekayaan seseorang dalam satuan rupiah tertentu. Kita berasumsi bahwa individu
mengejar berbagai tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara moneter.
Dengan demikian self interest sekurang-kurangnya mencakup tujuan-tujuan yang
berhubungan dengan prestise, persahabatan, cinta, kekuasaan, menolong
sesama,penciptaan karya seni, dan lain-lain. Kita dapt juga mempertimbangkan
self interest yang tercerahkan, dimana individu-individu dalam rangka untuk mencapai
sesuatu yang menjadikan mereka lebih baik, pada saat yang sama membuat
orang-orang di sekelilingnya menjadi lebih baik pula.
2.
Present-aim Rationality
Teori utilitas modern yang aksiomatis tidak berasumsi bahwa manusia
bersikap mementingkan kepentingan pribadinya (self interest). Teori ini hanya
berasumsi bahwa mwnusia menyesuaikan preferensinya dengan sejumlah aksioma:
secara kasarnya preferensi-preferensi tersebut harus konsisten.
Individu-individu menyesuaikan dirinya dengan aksioma-aksioma ini tanpa harus
menjadi self interested[2]
C. Aksioma-aksioma
Pilihan Rasional
Terdapat tiga sifat
dasar, yakni kelengkapan (completeness), transivitas (transivity),
dan kontinuitas (continuity)
1.
Kelengkapan
Asumsi ini menyatakan bahwa jika individu dihadapkan
pada dua situasi, adan b, maka ia dapat selalu menentukan secara pasti salah
satu dari tiga kemungkina berikut ini:
a.
A lebih disukai daripada b
b.
B lebih disukai daripada a
c.
A dan b keduanya sama-sama disukai.
2.
Transitivitas
Asumsi ini menyatakan bahwa pilihan individu bersifat
konsisten secara internal. Contoh: jika seseorang berpendapat bahwa "a
lebih disukai dari pada b" dan "b lebih disukai daripada c",
maka tentu ia akan mengatakan "a harus lebih disukai dari pada c".
Asumsi ini menyatakan bahwa pilihan individu bersifat konsisten secara
internal.
3.
Kontinuitas
Asumsi ini menyatakan bahwa situasi-situasi yang
mendekati pilihan, maka situasi tersebut harus pula menjadi prioritas pilihan.
Kecenderungan itu menggiring manusia secara natural dan naluriah membangun
preferensinya. Contoh: jika seseorang menganggap "a lebih disukai dari
pada b", maka situasi-situasi yang secara cocok "mendekati a",
harus juga lebih disukai dari pada b.[3]
D. Asumsi-asumsi
lain tentang preferensi
1. Kemonotonan yang
kuat (strong monotonicity)
Bahwa lebih banyak berarti lebih baik. Biasanya kita
tidak memerlukan asumsi sekuat ini. Asumsi ini dapat diganti dengan yang lebih
lemah yakni local nonsatiation.
2. Local Nonsatitation
Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang dapat selalu
berbuat lebih baik, sekecil apapun, bahkan bila ia menikmati sedikit perubahan
saja dalam keranjang konsumsinya.
3. Konveksitas
Ketat (strict convexity)
Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang lebih menyukai
yang rata-rata daripada yang ekstrim, tetapi selain dari pada makna ini, asumsi
ini memiliki muatan ekonomis yang kecil. Strict convexity merupakan
generalisasi dari asumsi neoklasik tentang diminishing marginal rates of
substitution.[4]
E. Konsep
Rasionalitas dalam Perspektif Islam.
Jika dalam ekonomi
konvensional, manusia disebut rasional secara ekonomi jika selalu memaksimumkan
utility untuk konsumen dan keuntungan untuk produsen, maka dalam ekonomi islam,
seorang pelaku ekonomi, baik produsen maupun konsumen, akan selalu berusaha
memaksimalkan mashlahah. Konsep rasionalitas dalam ekonomi islam lebih luas
dimensinya daripada ekonomi konvensional. Rasionalitas ekonomi dalam islam
diarahkan sebagai dasar perilaku kaum muslimin yang mempertimbangkan
kepentingan diri, social, dan pengabdian kepada Allah.
Beberapa pakar ekonom
muslim membuat batasan terhadap rasionalitas dalam ekonomi islam. Rasionalitas
dalam ekonomi islam tidak hanya didasarkan kepada pemuasan nilai guna
(material) didunia, tetapi mempertimbangkan pula aspek-aspek sebagai berikut:
1. Respek terhadap pilihan-pilihan
logis ekonomi dan faktor-faktor eksternal, seperti tindakan altruis dan harmoni
social
2. Memasukkan dimensi waktu yang
melampaui horizon duniawi sehingga segala kegiatan ekonomi berorientasi dunia
dan akhirat
3. Memenuhi aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh syari’at islam
4. Usaha-usaha untuk mencapai falah,
yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pertama, konsep sukses
dalam islam diukur dengan nilai moral islam, bukan dengan jumlah kekayaan yang
dimiliki. Kedua, seseorang muslim harus percaya adanya hari kiamat dan
kehidupan akhirat. Keyakinan ini membawa dampak mendasar pada perilaku
konsumsi, yaitu:
1. Pilihan jenis konsumsi akan
diorientasikan untuk kepentingan dunia dan akhirat.
2. Probabilitas kuantitas jenis
pilihan konsumsi cenderung lebih variatif dan lebih banyak karena juga mencakup
jenis konsumsi untuk kepentingan akhirat.
Ketiga, harta merupakan
anugerah Allah dan bukan merupakan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat
buruk sehingga harus dijauhi secara berlebihan. Harta merupakan alat untuk
mencapai tujuan hidup jika diusahakan dan dimanfaatkan secara benar.
Keempat,harta benda/barang (goods) merupakan karunia yang diberikan Allah
kepada manusia. Islam telah menganjurkan untuk mengkonsumsi barang-barang yang
termasuk dalam kategori dhalal dan at-tayyibat (barang-barang yang baik dan
suci). Sebaliknya, barang-barang yang haram, seperti minuman keras, babi,
bangkai, dan lain-lain dilarang dalam islam. Kelima, islam memiliki seperangkat
etika dan nilai yang harus dipedomani manusia dalam berkonsumsi, seperti
keadilan, kesederhanaan, kebersihan,tidak melakukan kemubadziran dan tidak
berlebih-lebihan (israf).
Sementara itu, dalam
konteks rasionalitas dalam konsumsi yang lebih spesifik, fahim
khan membedakan antara mashlahah dan keputusan (utility). Mashlahah
didefinisikan sebagai “the property or power of a good or service that prompts
the basic elements and objectivies of the life of human beings in this world”,
sedangkan utility adalah “the property of a goods or service to satisfy a human
want”. Maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan (need), sedangkan kepuasan
(utilirty) dikoneksikan dengan keinginan (want). Ia menderivasikan pandangan
pada konsep maqasid syari’ah dengan mashlahah yang berujung pada masalih al
ibad (untuk kemashlahatan hamba atau manusia).[5]
Meskipun demikian,
beberapa aksioma ini merupakan kaidah yang berlaku umum dan universal sesuai
dengan universalitas agama islam. Secara garis besar sebagai berikut:
1. Setiap
pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan maslahah.
Untuk mewujudkan kesejahteraan falah maka kegiatan
ekonomi harus diarahkan untuk mencukupi lima jenis kebutuhan guna menghasilkan
maslahah. Karena, pada dasarnya setiap pelaku ekonomi akan berorientasi untuk
mencapai maslahah ini. Terkait dengan perilaku mencari maslahah ini, seseorang
akan selalu:
a. Maslahah yang lebih
besar lebih disukai daripada yang lebih sedikit.
Maslahah yang lebih tinggi jumlah atau tingkatnya
lebih disukai daripada maslahah yang lebih rendah jumlah atau tingkatnya atai
monotonicity maslahah yang lebih besar akan memberikan kebahagiaan yang lebih
tinggi, karenanya lebih disukai daripada maslahah yang lebih kecil
b. Maslahah diupayakan
terus meningkat sepanjang waktu.
Konsep ini sering disebut dengan quasi concavity,
yaitu situasi maslahah yang menunjukkan pola non-decreasing. Karena jika
seseorang menderita sakit maka ia akan berusaha mengobati sakitnya tersebut,
sebab sakit tidaklah menyenangkan dan dapat menurunkan maslahah hidupnya.
Selanjutnya dia bersedia mengeluarkan sejumlah pengorbanan tertentu misalnya
olahraga, vaksinasi, dan lain-lain agar tidak jatuh sakit lagi dan lebih sehat
di masa depan agar maslahah hidupnya semakin meningkat atau setidaknya tetap.
2. Setiap pelaku
ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubadziran.
Dapat dipahami bahwa untuk mencapai suatu tujuan, maka
diperlukan suatu pengorbanan. Namun, jika pengorbanan tersebut lebih besar dari
hasil yang diharapkan, maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi pemubadziran
atas suatu sumberdaya. Perilaku mencegah wasting ini diinginkan oleh stiap
perilaku karena dengan terjadinya kemubadziran berarti telah terjadi
pengurangan dari sumberdaya yang dimiliki tanpa kompensasi berupa hasil yang
sebanding.
3. Setiap
perilaku ekonomi selalu berusaha untuk meminimumkan risiko.
Risiko adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan oleh
karenanya menyebabkan menurunkan maslahah yang diterima. Hal ini merupakan
konsekuensi dari aksioma monotonicity dan quasi concavity. Namun, tidak senua
risiko dapat dihindari atau diminimumkan. Hanya risiko yang dapat diantisipasi
saja yang dapat dihindari atau diminimumkan. Ada juga risiko-risiko yang setiap
orang bersedia untuk menanggungnya, karena pertimbangan maslahah yang lebih
besar . Untuk itu dalam pembahasan aksioma ini, risiko dibedakan menjadi:
a. Risiko yang bernilai
(worthed risk)
Risiko ini mengandung dua elemen yaitu resiko (risk)
dan hasil (return). Kedua istilah ini muncul karena dalam hal-hal
tertentu hasil selalu terkait dengan risiko, dimana keduanya dapat sepenuhnya
diantisipasi dan dikalkulasi seberapa besar peluang dan nilainya. Dengan
membandingkan risiko dan hasil maka suatu resiko akan dapat ditentukan apakah
resiko tersebut worthed atau tidak. Suatu risiko dapat dianggap worthed jika
risiko yang dihadapi nilainya lebih kecil daripada hasil yang akan diperoleh.
b. Risiko yang tak
bernilai (unworthed risk)
Risiko yang unworthed yaitu ketika nilai hasil yang
diharapkan lebih kecil dari risiko yang ditanggung ataupun ketika risiko dan
hasil tersebut tidak dapat diantisipasi dan dikalkulasi. Objek pembahasan dalam
paparan ini dibatasi pada unworthed risk. Dengan kata lain, hanya jenis risiko
inilah yang setiap pelaku berusaha untuk menghindarinya.
4. Setiap
pelaku ekonomi dihadapkan pada situasi ketidakpastian
Ketidakpastian dapat menurunkan maslahah
yang diterima. Kemunculan risiko dalam banyak hal dapat diantisipasi melalui
gejala yang ada. Gejala yang dimaksud di sini adalah adanya ketidakpastian (uncertainly).
Secar spesifik, situasi ketidakpastian akan dapt menimbulkan risiko. Dengan
begitu suatu ketidakpastian banyak diidentikkan dengan risiko itu sendiri, atau
ketidakpastian dianggap sebagai dual dari risiko.oleh karena itu, situasi
ketidakpastian juga dianggap sebagi situasi yang dapat menurunkan nilai
maslahah.
5. Setiap pelaku berusaha melengkapi
informasi dalam upaya meminimumkan risiko.
Dalam kondisi ketidakpastian, setiap pelaku berusaha
untuk mencari dan melengkapi informasi serta kemampuannya. Hal ini kemudian
digunakan untuk mengkalkulasi ataupun suatu risiko masuk ke dalam worthed atau
unworthed sehingga dapat ditentukan keputusan apakah akan menghadapi risiko
tersebut atau menghindarinya. Informasi ini dapat digali melalui fenomena
kejadian masa lalu ataupun petunjuk informasi yang diberikan pihak tertentu.
Disamping
aksioma-aksioma yang bersifat universal diatas, juga terdapat aksioma lain yang
merupakan sesuatu yang diyakini dalam islam, antara lain:
1. Adanya kehidupan setelah mati.
Menurut islam kematian bukan merupakan
akhir dari kehidupan melainkan merupakan awal dari kehidupan baru. Setiap orang
islam dituntut meyakini hal ini secara pasti. Kehidupan di dunia akan diakhiri
dengan kematian, namun kehidupan setelah dunia, disebut akhirat, bersifat
abadi. Tidak akan ada kematian setelah kehidupan di akhirat.
2. Kehidupan akhirat merupakan akhir pembalasan
atas kehidupan di dunia.
Hidup setelah mati dipercayai bukan
merupakan hidup baru yang terlepas dari kehidupan di dunia melainkan kelanjutan
dari hidup di dunia. Secar lebih pasti dipercayai bahwa kehidupan setelah mati
merupakan masa pembalasan terhadap setiap setiap perbuatan yang pernah
dilakukan di dunia. Dengan kata lain, kehidupan di dunia merupakan ujian bagi
manusia untuk mendapatkan kehidupan setelah mati.
3. Sumber informasi yang sempurna
hanyalah alqur'an dan sunnah
Pada dasarnya informasi dapat diperoleh
dari fenomena kehidupan dunia masa lalu, namun kebenaran informasi ini sangat
dibatasi oleh ruang dan waktu serta kemampuan pelaku dalam menginterprestasikan
fenomena tersebut. Islam mengajarkan bahwa allah telah melengkapi kelemahan
manusia dengan memberikan informasi dan petunjuk yang dapat digunakan sepanjang
masa. Informasi ini dituangkan dalam bentuk kitab suci alqur'an yang berisikan
firman allah serta sunnah nabi muhammad saw. Informasi ini meliputi makna,
tujuan maupun prose bagaimana pelaku meningkatkan maslahah yang diterimanya.
Kedua sumber informasi ini dianggap valid dan tidak terbantahkan. Pelaku
ekonomi hanya diperlukan untuk menginterprestasikan dan mengaplikasikannya
dalam kegiatan ekonomi.
Dengan
tambahan aksioma ini, mak pelaku ekonomi yang memiliki rasionalitas islam
menghadapi jangkauan waktu (time horizon) yang tak terbatas. Dalam pandangan
islam, kehidupan manusia terdiri dari kehidupan dunia, kehidupan kubur dan
kehidupan abadi akhirat. Oleh karena itu, maslahah yang akan diterima di hari
akhir merupakan fungsi dari kehidupan di dunia atau maslahah di dunia terkait
dengan maslahah yang diterima di akhirat. Dengan time horizon yang lebih
panjang ini, maka seorang pelaku ekonomi akan merasakan ketidakpastian,
terutama yang menyangkut maslahah. Ia menghadapi situasi ketidakpastian
mengenai apakah maslahah yang akan diperolehnya diakhirat lebih baik atau lebih
buruk dari pada yang diraskan di dunia.[6]
F. Etika
dan rasionalitas ekonomi islam.
Aspek moral atau etika
dalam ekonomi konvensional dianggap sebagai batas ilmu ekonomi karena perilaku
etis dipandang sebagai perilaku tidak rasional. Tindakan etis sering kali
diartikan sebagai pengorbanan kepentingan individu atau material untuk
mengedepankan kepentingan social atau non material. Dengan demikian, ketika
perilaku rasional ekonomi diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan mashlahah
materi semata, maka perilaku etis dipandang sebagai perilaku yang tidak
rasional dan karenanya dikeluarkan dari pokok bahasan ilmu ekonomi.[7]
Secara umum, moral
didefinisikan sebagai standar perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat
(benar) ataukah tidak (salah). Filosofi atau suatu standar moral setiap
masyarakat dapat berbeda-beda, dan alasan inilah yang dikenal dengan istilah
etika. Suatu perilaku yang dianggap rasional oleh paham konvensional dapat
dianggap tidak rasional dalam pandangan islam.
Islam, demikian pula
sebaliknya. Sebagai contoh adalah minum-minuman keras atau mabuk dianggap tidak
rasional menurut islam, karena berpotensi menurunkan maslahah yang diterima,
misalnya penurunan mashlahah agama dan intelektual lebih tinggi daripada
peningkatan mashlahah fisiknya. Namun, menurut paham relativisme atau
utilitarianisme, minum-minuman keras dianggap sebagai tindakan rasional selama
tindakan ini dianggap “baik” oleh masyarakat atau tidak mendatangkan kerugian
pada mayoritas. Oleh karena itu, ketika ada seorang pelaku ekonomi yang memilih
untuk tidak mengkonsumsi minuman keras yang murah dan berkualitas dianggap
sebagai tindakan etis dan tidak rasional dalam pandangan relativisme atau
utilitarianisme dan karenanya perilaku semacam ini tidak dibahas dalam analisis
ekonomi.
Ekonomi islam
mempelajari perilaku ekonomi pelaku ekonomi yang rasional islami, sebagaimana
dijelaskan subbab sebelumnya. Oleh karena itu, standar moral suatu perilaku
ekonomi didasarkan ajaran islam dan bukan semata-mata didasarkan atas
nilai-nilai yang dibangun oleh kesepakatan social. Moralitas islam ini tidak
diposisikan sebagai suatu batasan ilmu ekonomi, namun justru sebagai pilar atau
patokan dalam menyusun ekonomi islam.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas
dapat disimpulakan bahwa rasionalitas mengandung pengertian tentang keputusan
dan tindakan yang didasari atas pertimbangan akal budi. Jika dilihat dari
jenisnya rasionalitas dibagi menjadi dua yaitu rasionalitas kepentingan pribadi
(self interest rationality) dan present-aim rationality.
Jika dalam ekonomi
konvensional, manusia disebut rasional secara ekonomi jika selalu memaksimumkan
utility untuk konsumen dan keuntungan untuk produsen, maka dalam ekonomi islam,
seorang pelaku ekonomi, baik produsen maupun konsumen, akan selalu berusaha
memaksimalkan mashlahah. Konsep rasionalitas dalam ekonomi islam lebih luas
dimensinya daripada ekonomi konvensional. Rasionalitas ekonomi dalam islam
diarahkan sebagai dasar perilaku kaum muslimin yang mempertimbangkan
kepentingan diri, social, dan pengabdian kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azwar
Karim, Ekonomi Mikro Islami, IIIT Indonersia, Jakarta, 2002.
Anita Rahmawaty, Ekonomi
Mikro Islam, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011.
P3EI, Ekonomi
Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.
Komentar
Posting Komentar