Pengelola Zakat Lintas Sejarah

PENGELOLAAN ZAKAT LINTAS SEJARAH
Description: 11391757_442785785882987_730477007125192238_n
Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas terstruktur
Mata kuliah : Manajemen Zakat Wakaf
Dosen Pengampu : Dr. Supardi S.Ag, M.A

Disusun oleh:
Anas Mubarok              ( 1522201075)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
PURWOKERTO
2016




 PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kewajban zakat dalam islam memiliki makna yang sangat fundamental. Selain berkaitan erat dengan aspek-aspek ketuhanan, juga ekonomi dan sosial. Diantara aspek-aspek ketuhanan adalah banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut masalah zakat, termasuk diantaranya 27 ayat yang menyandingkan kewajiban zakat dan kewajiban sholat secara bersamaan. Bahkan Rosulullah pun menempatkan zakat sebagi salah satu pilar utama dalam menegakkan agama islam. Sedangkan dari aspek sosial perintah zakat dapat di pahami sebagai kesatuan sistem yang tak terpisahkan dalam pencapaian kesejahteraan sosial-ekonomi dan masyarakat.    
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pembagian zakat pada masa Rosulullah, masa Khulafaurrasyidin, masa pemerintahan bani Abbasiyah, masa pemerintahan pada masa Bani Ummayah, pengelolaan zakat dibeberapa negara Islam dan di Indonesia?

C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui Bagaimana pembagian zakat pada masa Rosulullah, masa Khulafaurrasyidin, masa pemerintahan bani Abbasiyah, masa pemerintahan pada masa Bani Ummayah, pengelolaan zakat dibeberapa negara Islam dan di Indonesia.





PEMBAHASAN
A.    Zakat pada masa Rosulullah SAW
Zakat merupakan pendapatan yang paling utama bagi negara pada masa Rosulullah hidup. Zakat merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran telah diatur didalam al-Qur’an, sehingga pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk keperluaan umum negara. Pada masa Rosulullah, zakat dikenakan pada hal-hal berikut :
1.      Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya.
2.       Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
3.      Binatang ternak : Unta, sapi, domba, kambing.
4.      Berbagai jeniz barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5.      Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
6.      Luqata, harta benda yang ditinggalkan musuk.
7.      Barang temuan.
Pencatatan seluruh penerimaan negara pada masa Rosulullah tidak ada karena beberapa alasan, yaitu :
1.      Jumlah orang Islam yang bisa membaca sedikit dan jumlah orang yang dapat menulis atau yang mengenal aritmatika sederhana lebih sedikit.
2.      Sebagian besar bukti pembayaran dibuat dalam  bentuk yang sederhana baik yang diditribusikan maupun yang diterima.
3.      Sebagian besar dari zakat hanya didistribusikan secara lokal
4.      Bukti-bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa hidup rosulullah juga tidak tersedia, tetapi tidak bisa diambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada tidak dijalankan sebagaimana mestinya atau membingungkan. Dalam kebanyakan kasus pencatatannya diserahkan pada pengumpul zakat dan setiap orang pada umumnya terlatih dalam masalah pengumpulan zakat. Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rosullullah dan setiap hadiah yang diterima para pengumpul zakat akan disita ( seperti yang terjadi pada kasus al-Lutbiga, pengumpul zakat pada Bani Sulaim ), dan Rosulullah pun akan memberi nasehat pada hal ini. Rosulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat terutama zakat unta.[1] Selama tiga belas tahun di makkah, kaum muslimin didorong untuk mnginfakkan harta mereka buat para fakir, miskin dan budak, namun sebelum ditentukan nisab dan beberapa kewajiban zakatnya, juga belum diketahui apakah telah teroganisasi pengumpulan dan penyaluranya, yang jelas kaum muslimin awal memberikan sebagian besar harta mereka untuk kepentingan islam.
Ayat-ayat dalam surah al-Hajj yang turun diawal periode madinah menjelaskan salah satu ciri orang mukmin, yaitu menegakkan sholat dan membayar zakat. Pada zaman Rosullullah di periode Madinah ditentukan nisab dan jumlah kewajiban zakat, administrasi, pengumpulan dan penyaluran. Rosullulah pernah mengirim Ala al-Hadrami ke bahrain dan Amr ke Oman pada tahun 8 H, Muadz ke Yaman pada tahun 9 H. Dalam banyak riwayat dikisahkan bahwa zakat dari suatu daerah disalurkan ke daerah itu juga, tidak dibawa ke Madinah. Meski demikian beberapa riwayat mengisahkan sebagian zakat ada juga yang dikirim ke Madinah.[2]
B.     Zakat pada masa Khulafaurrasyidin
1.      Pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq
Pada masa nabi yang mulia, jumlah kuda di Arab sangat sedikit terutama kuda yang dimiliki orang-orang Islam terutama digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Misalkan pada perang Badar, pasukan kaum muslimin yang berjumlah 313 orang hanya memiliki 2 ekor kuda. Karena zakat dibebankan atas barang-barang yang memiliki produktivitas, maka seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki muslim telah dibebaskan dari zakat. Apabila orang yang enggan mengeluarkan zakat itu mengingkari wajibnya zakat, sebagaimana mesti dibunuhnya seseorang yang murtad karena wajibnya zakat, berarti dia mendustakan Allah swt.[3]
     Pada periode selanjutnya, kegiatan ternak dan memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syiria dan bagian lain dari daerah kekuasaan. Beberpa kuda memiliki nilai jual yang tinggi dan orang-orang islam terlibat dalm perdaganganini. Karena maraknya perdagangan kuda. Mereka menanyakan kepada Abu Ubayda Gubernur Syiria, tentang membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahu bahwa tidak zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kebada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakatnya tetapi permintaan mereka tidak dikabulkan. Mereke kemudian datang kembali kepada Abu Ubayda dan bersikerah ingin membayar. Ahirnya beliau menulis surat kepada Abu bakar dan Abu bakar menginstrusikan Gubernur untuk menerk zakat dari mereka dan menditribusikkanya kepada fakir miskin dan para budak-budak. [4] Pada masa kekhalifahan Abu Bakar pernah terjadi serangan kaum muslim atas perintah Abu Bakar terhadap para penentang pembayaran zakat. Ini menunjukkan bahwa negara memiliki peranan dalam pemungutan zakat. [5]  
2.      Pada masa Khalifah Umar Bin Khatab
Pada masa Umar menjadi khalifah situasi dijazirah arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimannya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada khalifah. Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian komplek,umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan membetuk beberapa lembaga baru yang bersifat akseklusif dan operasional, diantara lembaga-lembaga baru yang Umar bentuk adalah Baitul Mal.
Pada masa kekholiifahan Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang-sarang tawon tidak membayar ushr tetapi mengiginkan sarang-sarang tawon dilindungi secar resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr, maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak membayar, tidak akan mendapat perlindungan. Menurut laporan Abu ubaid umar membedakan madu yang yang diperoleh dari daerah pegunungan dan diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah sepersepuluh untuk madu yang pertama dan sepersebuluh untuk madu yang kedua.[6] 
3.      Pada masa Khalifah Utsman Bin Affan
Di zaman Utsman r.a, dengan kemajuan perekonomian umat saat itu timbul masalah baru, di antara lain hukum zakat atas pinjaman. Ustman berpendapat jika utang itu dapat ditagih pada waktunya berzakat, namun ia tidak melakukannya, ia harus membayar zakat dari seluruh hartanya termasuk utang yang seharusnya apat ditagih itu. Ibnu Abbas dan Ibnu umar juga berpendapat sama. Belakang ini muncul teori yang membedakan antara utang yang di harapkan dapat dibayar dan utang yang macet. Jenis yang pertama saja yang wajib di zakati setiap tahun, sedangkan jenis kedua baru wajib dizakati paa saat dibayar.
4.      Pada masa Khalifah Ali Bin Abi Tholib
Dalam kebijakan zakat dan pengelolaan uang negara khalifah Ali Bin Abi Tholib mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar Bin Khottob. Zakat dianggap sebagai salah satu jenis harta yang diletakkan di Baitul Mal, namun berbeda dengan jenis-jenis harta yang lain, dari segi perolehannya serta beberapa kadarya dan dari segi pembelanjaannya.
Di zaman Ali ternak yang dipekerjakan tidak dikenakan zakat karena dianggap kebutuhan dasar petani. Senada dengan itu, menurut az-Zuhri dan at-Tanurkhi, karena hasilertanian telah di tentukan zakatnya 5 % bila menggunakan air hujan atau 10 % bila diupayakan pengairanya, padahal ternak pekerja merupakan salah satu komponen biaya semisal pengairan. Ali juga memperbolehkan membayar zakat dengan bentuk setara uang. Zakat untuk unta, bila dibayar dengan unta yang berumur satu tahun lebih muda  dapat dikompensasi dengan dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Akan tetapi paa zaman itu kompensasinya adalah dua ekor kambing atau sepuluh dirham mungkin karena harga kambing turun drastis pada zaman itu.[7]
Sanggup mengorbankan hartanya untuk keperluan dirinya sendiri, untuk menolong orang yang susuh, membantu kemaslahatan dan kemajuan agama, kemakmuran bangsa dan tanah air. Dengan bantuan mereka agama islam dapat hidupdan maju, umat islam sampai puncak tertinggi dan kesemurnaan, nama mereka akan kekal tercantum dalam lembaran tarikh dan diakhirat mereka mendapat ganjaran yang setimpal dengan kemurahan mereka itu.[8]
C.     Zakat pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah
Puncak keberhasilan pengelolan zakat terjadi pada masa khilafah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Ketika kejayaan islam mulai mengalami pasang surut dan didunia berkembang konsep negara bangsa berdasrakan asas nasionalisme, maka uamat islam tidak lagi hidup dalam satu atap kekhalifahan, tetapi terpecah menjadi beberapa negara dengan peraturan yang berbeda-beda. Namun semangat membayar zakat bagi umat Islam masih terus berlanjut.
Secara histiris di sebutkan bahwa ada suatu kecenderungan penguasa muslim, sejak Daulah Abbasiyah hingga Turky Usmani, yang selalu menunjukkan ajaran kedermawanan islam dalam bentuk kelembagaan. Khusunya pendidikan dan madrasah. Terlihat pemerintah/penguasa menyokong bahkan membiayai sepenuhnya lembaga tersebut, misanya madrasah Nizamiyah yang didirikan pada abad ke 10 M dan 11 M. Kita tahu bahwa Turky Usmani juga menyisihkan diri dari sebagian anggaran belanjanya untuk kepentingan beasiswa bagi penuntut ilmu di kota-kota keilmuan seperti Kairo, Makkah, dan Madinah.
Universitas Al- Ashar juga menjadi satu contoh filantropi Islam yang luar biasa dengan zakat harta maupun zis (zakat, infaq, shodaqoh. Karena itu Universitas Al-Ashar sangat independen, bahkan lembaga belanja pendidikan islam ini lebih besar dari anggaran negara belanja Mesir sendiri. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, pada 191, pemerintah mesir dibawah Presiden Nasser melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta wakaf al-Ashar. Al-Ashar pun menjadi bagaian terstruktur dari negara, anggaranya ditetapkan dan diberikan oleh negara. Syeikh al-Ashar dijadikan pejabat setingkat perdana Mentri dan digaji pemerintah. Akibatnya al-Ashar tidak lagi independen atau kekuatan penyeimbang penguasa.[9]
Dari paparan sejarah mengenai pengelolaan zakat di atas, dapatlah dibuatkan tabel komparasi dari masa ke masa sebagi berikut:
Masa/periode
Pemerintah
Pemerintah dan masyarakat
masyarakat
Rasullullah SAW
Zakat dikelola pemerintah. Nabi ikut turun tangan sendiri dan memberi petunjuk operasionalnya


Abu Bakar r.a
Zakat di kelola oleh pemrintah. Bahkan mereka yang membangkang membayar zakat diperangi


Umar r.a
Zakat dikelola oleh pemerintah baitul mal dananya makin banyak berasal dari wilayah yang ditaklukan


Ustman r.a

Dikelola oleh pemerintah namun karena gudang baitul mal penuh maka muzakki atas nama khalifah boleh langsung membagikan kepada mustahiq.

Ali r.a

Sama seperti ustman Ali mengawasi sendiri

Bani Umayyah
Puncak keberhasilan pengelolaan zakat terjadi pada masa khilfah Umayyah dan Abbasiyah


Bani Abbasiyah
Puncak keberhasilan pengelolaan zakat terjadi pada masa khilfah Umayyah dan Abbasiyah



D.    Pengelolaan zakat di beberapa negara Islam
Dalam teori ketatanegaraan Islam, pengelolaan zakat diserahkan kepada “waliyyul amri” yang dalam konteks ini adalah pemerintah, sebagaimana perintah Allah untuk mengambil zakat dari harta para orang kaya (QS. At-Taubah), Fuqoha memahami bahwa kewenangan untuk melakukan pengembilan zakat dengan kekuatan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.
Pengoloan zakat di negara-negara yang mewajibkan zakat:

1.      Kerajaan Arab Saudi
Kewajiban zakat berdasarkan perundang-undangan di arab saudi dimulai sejak tahun 1951, dengan kelurganya keputusan Raja (Royal court) No. 17/2/28/834 tertanggal 29//1370 H/7/4/1951 M, yang berbunyi “zakat syari” yang sesuai dengan ketentuan syariah islamiah diwajibkan kepada individu dan perusahaan yang memiliki kewarganegaran Saudi. Bagi individu diperbolehkan menylurkan zakatnya secara langsung maksimal 50% dan 50% sisinya harus disetor kedepartemen keuangan. Sedangkan zakat perusahaan seluruhnya harus disetor kedepartemen keuangan.
2.       Pengelolaan zakat di Sudan
Pengelolaan zakat di Sudan didasarkan pada undang-undang yang berkiatan dengan diwan zakat pada tahun 1984. Undang-undang yang mewajibkan zakat ini diperlukan karena pada tahun 1980-1984 zakat masih bersifat sukarela dan hasilnya tidak maksimal.
Mengenai pembagian zakat, UU zakat Sudan mengatur, bagi Mustahiq diberi hak 20% dari harta zakat disalurkan secara langung kepada mustahiq dari sanak famili, dan 80% sisanya diserahkan kepada dewan zakat dewan zakat kemudian mendelegasikan pendistribusian zakat kepada departemen keuangan dan perencanaan ekonomi nasional.
3.      Pengelolaan Zakat di Yordania
 Pada tahun 1994 M, kerajaan Hasyimite Yordania Menetapkan undang-undang khusus pemungutan zakat. Yordania adalah negara pertama didunia yang memiliki undang-undang yang mewajibkan zakat. Perkembangan berikutnya, pada tahun 1988 ditetapkan Undang-undang Shuduq zakat, yang memberikankekuatan hukum kepada Shunduq Zakat juga independensi anggaran dan pengelolaan, juga hak untuk memiliki dan menuntut di pengadilan.
Adapun struktur organisasi Shunduq Zakat Yordania adalah sebagai berikut: ketua dewan direksi adalah mentri wakaf dan urusan tempat-tempat suci. Anggotanya adalah sekjen kementrian wakaf sebagai wakil ketua, musti besar kerajaan Yordania, direktur Shundaq zakat, Ex officio perwakilan dari kemetrian keuangan, Ex officio perwakilan dari kementrian pertumbuhan dan sosial dan lima orang swasta.  
4.      Pengeloaan zakat di Kuwait
Perkembangan pengelolaan zakat di Kuwait dapat dilihat dari tiga tahap, pertama, tahap dimana zakat merupakan aktivias individu, dikelola secara sukarela dan bersifat pribadi, yakni atas inisiatif para dermawan dalam membatu merekayang membutuhkan. Kedua, tahap zakat dikelola secara kolektif (kelompok), seiring dengan perkembangan perdagangan yang merupakan sumber penting bagi pemasukan nasional. Ketiga, tahap zakat menjadi aktivitas lembaga (organisasi), dengan didirikannya “Perhimpunan Kebajikan Arab”.
5.      Pengelolaan zakat di Malaysia
Malaysia adalah negara federal, terdiri dari 13 negri bagian dan 1 wilayah persekutuan (Kuala Lumpur, labuan dan purtrajaya), yang setiap setiap negri memiliki majelis Agama Islam yang berkuasa untuk mengurusan agama, termasuk masalah zakat. Ketiga belas negri bagian ini dikoordinasikan oleh kantor Perdana Mentri yang membawahi direktorat kemajuan Islam, yang berkedudukan di wilayah kesekutuan.
E.     Pengelolaan Zakat di Indonesia
Pengelolaan zakat di indonesia hampir bisa dipastikan ada sejak  islam masuk ke Indonesia. Karena secara ideologis, zakat merupakan salah satu pilar dalam islam, dan muslim yang mampu namun menunaikan zakat, merasa keislmannya belum sempurna. Pada masa awal awal Islam di Indonesia zakat dkelola secara individual, nelum terlembagakan secara baik dan profesioanal. Karena itu, kalau ditanyakan “Apa buktinya, bahwa umat Islam di Indonesia memperhatikan zakat?” jawabnya hampir tidak ada. Jejak dan bukti lahiriyah praktik zakat di Indonesia nyaris tidak berbekas. Lalu, mengapa zakat belum mempunyai monumen manfaat pada masa lalu. Penyebab utamanya adalah masyarakat muslim pada saat itu membayarkan zakat secara langsung dan bersifat personal. Mereka belom memahami dan menghayati betapa besar manfaatnya pengelolaan zakat secara kelembagaan. 
Berbeda dengan zakat, rukun Islam yang lain seperti Haji dan Sholat, memiliki bukti lahiriah /monumen yang banyak dan menggambarkan adanya perhatian umat Islam Indonesia. Misalnya, ribuan musola dan masjid yang terbesar diseluruh indonesia adalalah bukti konkret perhatian umat Islam Indonesia terhadap sholat, panggilan pak Haji dan bu Haji  dan banyaknya asrama haji serta rumah sakit haji, yang tersebar di beberapa daerah merupakan bukti konkret perhatian uamat Islam Indonesia terhadap masalah haji.
Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia, sebenarnya bisa dibicarakan berdasarkan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sendiri, dan bisa dibicarakan dengan melihat sisi uapaya dan perhatian umat Islam terhadap terhadap urusan zakat. Kalau sejarah pengelolaan zakat di Indonseia dibicarakan melalu sejarah kemerdejaan Indonesia, maka bisa dipilah menjadi misalnya, zakat pada masa Belanda, Jepang dan masa setelah kemerdekaan R.I, namun ketika dibicarakan dengan melihat bagaimana umat Islam memperhatikan urusan tentang zakat.[10]


PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang materi pengelolaan zakat lintas sejarah, Zakat dikelola pemerintah. Nabi ikut turun tangan sendiri dan memberi petunjuk operasionalnya, pada masa Abu Bakar Zakat di kelola oleh pemerintah. Bahkan mereka yang membangkang membayar zakat diperangi,  pada masa Umar r.a Zakat dikelola oleh pemerintah baitul mal dananya makin banyak berasal dari wilayah yang ditaklukan, pada masa Ustman r.a Dikelola oleh pemerintah namun karena gudang baitul mal penuh maka muzakki atas nama khalifah boleh langsung membagikan kepada mustahiq, Sama seperti ustman Ali mengawasi sendiri, Puncak keberhasilan pengelolaan zakat terjadi pada masa khilfah Umayyah dan Abbasiyah, ada dua model pengklasfikasian pengelolaan zakat dan di mana model pertama yaitu negara yang mewajibkan zakat sebagai kewajiban UU wajib zakat diantara negaranya ialah: Arab Saudi, Libya, dan Pakistan sedangkan negara lainnya menyerahkan pembayaran zakat kepada kesadaran masing-masing individu. Pengelolaan zakat di indonesia hampir bisa dipastikan ada sejak  islam masuk ke Indonesia. Karena secara ideologis, zakat merupakan salah satu pilar dalam islam, dan muslim yang mampu namun menunaikan zakat, merasa keislmannya belum sempurna





DAFTAR PUSTAKA
Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI). 2003
Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Depok: Gema Insani. 2007
Wahbah Al-Zuhayly. Zakat Kajian Berbagain Mashab. Bandung: PT Remaja Rodakarya. 2000. Hml. 94
Nurudin, Zakat Sebagai Intrumen Dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta: PT. GrafisIndo Persada. 200
Supani, Zakat di Indonesia.Purwokerto: Stain Press, 2010
Sulaiman rasjid, fiqh islam. Bandung: Pt Sinar baru algensindo, 1992



[1] Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI). 2003. Hml.180-182
[2] Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Depok: Gema Insani. 2007. Hml 193
[3] Wahbah Al-Zuhayly. Zakat Kajian Berbagain Mashab. Bandung: PT Remaja Rodakarya. 2000. Hml. 94
[4] Ibid hml.50
[5] Nurudin, Zakat Sebagai Intrumen Dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta: PT. GrafisIndo Persada. 2006. Hml.2
[6] Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI). 2003. Hml.191
[7] Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Depok: Gema Insani. 2007. Hml. 192-193
[8] Sulaiman rasjid, fiqh islam. Bandung: Pt Sinar baru algensindo, 1995. Hml 192
[9] Supani, Zakat di Indonesia.Purwokerto: Stain Press, 2010. Hml 62-64
[10] Supani, Zakat di Indonesia.Purwokerto: Stain Press, 2010. Hml 66-77

Komentar

Postingan Populer