Pengelola Zakat Lintas Sejarah
PENGELOLAAN
ZAKAT LINTAS SEJARAH
Disusun
dan diajukan guna memenuhi tugas terstruktur
Mata
kuliah : Manajemen Zakat Wakaf
Dosen
Pengampu : Dr. Supardi S.Ag, M.A
Disusun
oleh:
Anas
Mubarok ( 1522201075)
JURUSAN
EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGRI
PURWOKERTO
2016
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kewajban zakat dalam islam memiliki makna yang
sangat fundamental. Selain berkaitan erat dengan aspek-aspek ketuhanan, juga
ekonomi dan sosial. Diantara aspek-aspek ketuhanan adalah banyaknya ayat-ayat
al-Qur’an yang menyebut masalah zakat, termasuk diantaranya 27 ayat yang
menyandingkan kewajiban zakat dan kewajiban sholat secara bersamaan. Bahkan
Rosulullah pun menempatkan zakat sebagi salah satu pilar utama dalam menegakkan
agama islam. Sedangkan dari aspek sosial perintah zakat dapat di pahami sebagai
kesatuan sistem yang tak terpisahkan dalam pencapaian kesejahteraan
sosial-ekonomi dan masyarakat.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
pembagian zakat pada masa Rosulullah, masa Khulafaurrasyidin, masa pemerintahan
bani Abbasiyah, masa pemerintahan pada masa Bani Ummayah, pengelolaan zakat
dibeberapa negara Islam dan di Indonesia?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui Bagaimana pembagian zakat pada masa Rosulullah, masa
Khulafaurrasyidin, masa pemerintahan bani Abbasiyah, masa pemerintahan pada
masa Bani Ummayah, pengelolaan zakat dibeberapa negara Islam dan di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Zakat
pada masa Rosulullah SAW
Zakat merupakan pendapatan yang paling utama bagi
negara pada masa Rosulullah hidup. Zakat merupakan kewajiban agama dan termasuk
salah satu pilar Islam. Pengeluaran telah diatur didalam al-Qur’an, sehingga
pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk keperluaan umum negara.
Pada masa Rosulullah, zakat dikenakan pada hal-hal berikut :
1. Benda
logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk
lainnya.
2. Benda logam yang terbuat dari perak, seperti
koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
3. Binatang
ternak : Unta, sapi, domba, kambing.
4. Berbagai
jeniz barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5. Hasil
pertanian termasuk buah-buahan.
6. Luqata,
harta benda yang ditinggalkan musuk.
7. Barang
temuan.
Pencatatan seluruh penerimaan negara pada masa
Rosulullah tidak ada karena beberapa alasan, yaitu :
1. Jumlah
orang Islam yang bisa membaca sedikit dan jumlah orang yang dapat menulis atau
yang mengenal aritmatika sederhana lebih sedikit.
2. Sebagian
besar bukti pembayaran dibuat dalam bentuk
yang sederhana baik yang diditribusikan maupun yang diterima.
3. Sebagian
besar dari zakat hanya didistribusikan secara lokal
4. Bukti-bukti
penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa
hidup rosulullah juga tidak tersedia, tetapi tidak bisa diambil kesimpulan
bahwa sistem keuangan yang ada tidak dijalankan sebagaimana mestinya atau
membingungkan. Dalam kebanyakan kasus pencatatannya diserahkan pada pengumpul
zakat dan setiap orang pada umumnya terlatih dalam masalah pengumpulan zakat.
Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rosullullah dan
setiap hadiah yang diterima para pengumpul zakat akan disita ( seperti yang
terjadi pada kasus al-Lutbiga, pengumpul zakat pada Bani Sulaim ), dan
Rosulullah pun akan memberi nasehat pada hal ini. Rosulullah sangat menaruh
perhatian terhadap zakat terutama zakat unta.[1]
Selama tiga belas tahun di makkah, kaum muslimin didorong untuk mnginfakkan
harta mereka buat para fakir, miskin dan budak, namun sebelum ditentukan nisab
dan beberapa kewajiban zakatnya, juga belum diketahui apakah telah teroganisasi
pengumpulan dan penyaluranya, yang jelas kaum muslimin awal memberikan sebagian
besar harta mereka untuk kepentingan islam.
Ayat-ayat dalam surah al-Hajj yang turun diawal
periode madinah menjelaskan salah satu ciri orang mukmin, yaitu menegakkan
sholat dan membayar zakat. Pada zaman Rosullullah di periode Madinah ditentukan
nisab dan jumlah kewajiban zakat, administrasi, pengumpulan dan penyaluran.
Rosullulah pernah mengirim Ala al-Hadrami ke bahrain dan Amr ke Oman pada tahun
8 H, Muadz ke Yaman pada tahun 9 H. Dalam banyak riwayat dikisahkan bahwa zakat
dari suatu daerah disalurkan ke daerah itu juga, tidak dibawa ke Madinah. Meski
demikian beberapa riwayat mengisahkan sebagian zakat ada juga yang dikirim ke
Madinah.[2]
B. Zakat
pada masa Khulafaurrasyidin
1. Pada
masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq
Pada
masa nabi yang mulia, jumlah kuda di Arab sangat sedikit terutama kuda yang
dimiliki orang-orang Islam terutama digunakan untuk kebutuhan pribadi dan
jihad. Misalkan pada perang Badar, pasukan kaum muslimin yang berjumlah 313
orang hanya memiliki 2 ekor kuda. Karena zakat dibebankan atas barang-barang
yang memiliki produktivitas, maka seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki
muslim telah dibebaskan dari zakat. Apabila orang yang enggan mengeluarkan
zakat itu mengingkari wajibnya zakat, sebagaimana mesti dibunuhnya seseorang
yang murtad karena wajibnya zakat, berarti dia mendustakan Allah swt.[3]
Pada periode selanjutnya, kegiatan ternak dan
memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syiria dan bagian lain
dari daerah kekuasaan. Beberpa kuda memiliki nilai jual yang tinggi dan
orang-orang islam terlibat dalm perdaganganini. Karena maraknya perdagangan
kuda. Mereka menanyakan kepada Abu Ubayda Gubernur Syiria, tentang membayar
zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahu bahwa tidak zakat atas keduanya.
Kemudian mereka mengusulkan kebada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakatnya
tetapi permintaan mereka tidak dikabulkan. Mereke kemudian datang kembali
kepada Abu Ubayda dan bersikerah ingin membayar. Ahirnya beliau menulis surat
kepada Abu bakar dan Abu bakar menginstrusikan Gubernur untuk menerk zakat dari
mereka dan menditribusikkanya kepada fakir miskin dan para budak-budak. [4]
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar pernah terjadi serangan kaum muslim atas
perintah Abu Bakar terhadap para penentang pembayaran zakat. Ini menunjukkan
bahwa negara memiliki peranan dalam pemungutan zakat. [5]
2. Pada
masa Khalifah Umar Bin Khatab
Pada
masa Umar menjadi khalifah situasi dijazirah arab relatif lebih stabil dan
tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik
amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian
mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimannya. Sisa zakat itu
kemudian diberikan kepada khalifah. Untuk mengelola wilayah yang semakin luas
dan dengan persoalan yang kian komplek,umar kemudian membenahi struktur
pemerintahannya dengan membetuk beberapa lembaga baru yang bersifat akseklusif
dan operasional, diantara lembaga-lembaga baru yang Umar bentuk adalah Baitul
Mal.
Pada
masa kekholiifahan Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang-sarang
tawon tidak membayar ushr tetapi mengiginkan sarang-sarang tawon dilindungi
secar resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr, maka sarang
tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak membayar, tidak akan mendapat
perlindungan. Menurut laporan Abu ubaid umar membedakan madu yang yang
diperoleh dari daerah pegunungan dan diperoleh dari ladang. Zakat yang
ditetapkan adalah sepersepuluh untuk madu yang pertama dan sepersebuluh untuk
madu yang kedua.[6]
3. Pada
masa Khalifah Utsman Bin Affan
Di
zaman Utsman r.a, dengan kemajuan perekonomian umat saat itu timbul masalah
baru, di antara lain hukum zakat atas pinjaman. Ustman berpendapat jika utang
itu dapat ditagih pada waktunya berzakat, namun ia tidak melakukannya, ia harus
membayar zakat dari seluruh hartanya termasuk utang yang seharusnya apat
ditagih itu. Ibnu Abbas dan Ibnu umar juga berpendapat sama. Belakang ini
muncul teori yang membedakan antara utang yang di harapkan dapat dibayar dan
utang yang macet. Jenis yang pertama saja yang wajib di zakati setiap tahun,
sedangkan jenis kedua baru wajib dizakati paa saat dibayar.
4. Pada
masa Khalifah Ali Bin Abi Tholib
Dalam
kebijakan zakat dan pengelolaan uang negara khalifah Ali Bin Abi Tholib
mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar Bin Khottob. Zakat
dianggap sebagai salah satu jenis harta yang diletakkan di Baitul Mal, namun
berbeda dengan jenis-jenis harta yang lain, dari segi perolehannya serta
beberapa kadarya dan dari segi pembelanjaannya.
Di zaman Ali
ternak yang dipekerjakan tidak dikenakan zakat karena dianggap kebutuhan dasar
petani. Senada dengan itu, menurut az-Zuhri dan at-Tanurkhi, karena
hasilertanian telah di tentukan zakatnya 5 % bila menggunakan air hujan atau 10
% bila diupayakan pengairanya, padahal ternak pekerja merupakan salah satu
komponen biaya semisal pengairan. Ali juga memperbolehkan membayar zakat dengan
bentuk setara uang. Zakat untuk unta, bila dibayar dengan unta yang berumur
satu tahun lebih muda dapat dikompensasi
dengan dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Akan tetapi paa zaman itu kompensasinya
adalah dua ekor kambing atau sepuluh dirham mungkin karena harga kambing turun
drastis pada zaman itu.[7]
Sanggup mengorbankan hartanya untuk
keperluan dirinya sendiri, untuk menolong orang yang susuh, membantu
kemaslahatan dan kemajuan agama, kemakmuran bangsa dan tanah air. Dengan
bantuan mereka agama islam dapat hidupdan maju, umat islam sampai puncak tertinggi
dan kesemurnaan, nama mereka akan kekal tercantum dalam lembaran tarikh dan
diakhirat mereka mendapat ganjaran yang setimpal dengan kemurahan mereka itu.[8]
C. Zakat
pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah
Puncak keberhasilan pengelolan zakat
terjadi pada masa khilafah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Ketika kejayaan islam
mulai mengalami pasang surut dan didunia berkembang konsep negara bangsa
berdasrakan asas nasionalisme, maka uamat islam tidak lagi hidup dalam satu
atap kekhalifahan, tetapi terpecah menjadi beberapa negara dengan peraturan
yang berbeda-beda. Namun semangat membayar zakat bagi umat Islam masih terus
berlanjut.
Secara histiris di sebutkan bahwa ada
suatu kecenderungan penguasa muslim, sejak Daulah Abbasiyah hingga Turky
Usmani, yang selalu menunjukkan ajaran kedermawanan islam dalam bentuk
kelembagaan. Khusunya pendidikan dan madrasah. Terlihat pemerintah/penguasa
menyokong bahkan membiayai sepenuhnya lembaga tersebut, misanya madrasah
Nizamiyah yang didirikan pada abad ke 10 M dan 11 M. Kita tahu bahwa Turky
Usmani juga menyisihkan diri dari sebagian anggaran belanjanya untuk
kepentingan beasiswa bagi penuntut ilmu di kota-kota keilmuan seperti Kairo,
Makkah, dan Madinah.
Universitas Al- Ashar juga menjadi satu
contoh filantropi Islam yang luar biasa dengan zakat harta maupun zis (zakat,
infaq, shodaqoh. Karena itu Universitas Al-Ashar sangat independen, bahkan
lembaga belanja pendidikan islam ini lebih besar dari anggaran negara belanja
Mesir sendiri. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, pada 191, pemerintah mesir
dibawah Presiden Nasser melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta
wakaf al-Ashar. Al-Ashar pun menjadi bagaian terstruktur dari negara,
anggaranya ditetapkan dan diberikan oleh negara. Syeikh al-Ashar dijadikan
pejabat setingkat perdana Mentri dan digaji pemerintah. Akibatnya al-Ashar
tidak lagi independen atau kekuatan penyeimbang penguasa.[9]
Dari paparan sejarah mengenai
pengelolaan zakat di atas, dapatlah dibuatkan tabel komparasi dari masa ke masa
sebagi berikut:
Masa/periode
|
Pemerintah
|
Pemerintah dan masyarakat
|
masyarakat
|
Rasullullah SAW
|
Zakat dikelola pemerintah. Nabi
ikut turun tangan sendiri dan memberi petunjuk operasionalnya
|
|
|
Abu Bakar r.a
|
Zakat di kelola oleh pemrintah.
Bahkan mereka yang membangkang membayar zakat diperangi
|
|
|
Umar r.a
|
Zakat dikelola oleh pemerintah
baitul mal dananya makin banyak berasal dari wilayah yang ditaklukan
|
|
|
Ustman r.a
|
|
Dikelola oleh pemerintah namun
karena gudang baitul mal penuh maka muzakki atas nama khalifah boleh langsung
membagikan kepada mustahiq.
|
|
Ali r.a
|
|
Sama seperti ustman Ali mengawasi
sendiri
|
|
Bani Umayyah
|
Puncak keberhasilan pengelolaan
zakat terjadi pada masa khilfah Umayyah dan Abbasiyah
|
|
|
Bani Abbasiyah
|
Puncak keberhasilan pengelolaan
zakat terjadi pada masa khilfah Umayyah dan Abbasiyah
|
|
|
D. Pengelolaan
zakat di beberapa negara Islam
Dalam teori ketatanegaraan Islam, pengelolaan zakat
diserahkan kepada “waliyyul amri”
yang dalam konteks ini adalah pemerintah, sebagaimana perintah Allah untuk
mengambil zakat dari harta para orang kaya (QS. At-Taubah), Fuqoha memahami
bahwa kewenangan untuk melakukan pengembilan zakat dengan kekuatan hanya dapat
dilakukan oleh pemerintah.
Pengoloan zakat di negara-negara yang mewajibkan
zakat:
1. Kerajaan
Arab Saudi
Kewajiban zakat berdasarkan
perundang-undangan di arab saudi dimulai sejak tahun 1951, dengan kelurganya
keputusan Raja (Royal court) No. 17/2/28/834 tertanggal 29//1370 H/7/4/1951 M,
yang berbunyi “zakat syari” yang sesuai dengan ketentuan syariah islamiah
diwajibkan kepada individu dan perusahaan yang memiliki kewarganegaran Saudi.
Bagi individu diperbolehkan menylurkan zakatnya secara langsung maksimal 50%
dan 50% sisinya harus disetor kedepartemen keuangan. Sedangkan zakat perusahaan
seluruhnya harus disetor kedepartemen keuangan.
2. Pengelolaan zakat di Sudan
Pengelolaan zakat di Sudan didasarkan
pada undang-undang yang berkiatan dengan diwan zakat pada tahun 1984.
Undang-undang yang mewajibkan zakat ini diperlukan karena pada tahun 1980-1984
zakat masih bersifat sukarela dan hasilnya tidak maksimal.
Mengenai pembagian zakat, UU zakat Sudan
mengatur, bagi Mustahiq diberi hak 20% dari harta zakat disalurkan secara
langung kepada mustahiq dari sanak famili, dan 80% sisanya diserahkan kepada
dewan zakat dewan zakat kemudian mendelegasikan pendistribusian zakat kepada
departemen keuangan dan perencanaan ekonomi nasional.
3. Pengelolaan
Zakat di Yordania
Pada tahun 1994 M, kerajaan Hasyimite Yordania
Menetapkan undang-undang khusus pemungutan zakat. Yordania adalah negara
pertama didunia yang memiliki undang-undang yang mewajibkan zakat. Perkembangan
berikutnya, pada tahun 1988 ditetapkan Undang-undang Shuduq zakat, yang
memberikankekuatan hukum kepada Shunduq Zakat juga independensi anggaran dan
pengelolaan, juga hak untuk memiliki dan menuntut di pengadilan.
Adapun struktur organisasi Shunduq Zakat
Yordania adalah sebagai berikut: ketua dewan direksi adalah mentri wakaf dan
urusan tempat-tempat suci. Anggotanya adalah sekjen kementrian wakaf sebagai
wakil ketua, musti besar kerajaan Yordania, direktur Shundaq zakat, Ex officio
perwakilan dari kemetrian keuangan, Ex officio perwakilan dari kementrian
pertumbuhan dan sosial dan lima orang swasta.
4. Pengeloaan
zakat di Kuwait
Perkembangan pengelolaan zakat di Kuwait
dapat dilihat dari tiga tahap, pertama, tahap dimana zakat merupakan aktivias
individu, dikelola secara sukarela dan bersifat pribadi, yakni atas inisiatif
para dermawan dalam membatu merekayang membutuhkan. Kedua, tahap zakat dikelola
secara kolektif (kelompok), seiring dengan perkembangan perdagangan yang
merupakan sumber penting bagi pemasukan nasional. Ketiga, tahap zakat menjadi
aktivitas lembaga (organisasi), dengan didirikannya “Perhimpunan Kebajikan
Arab”.
5. Pengelolaan
zakat di Malaysia
Malaysia adalah negara federal, terdiri
dari 13 negri bagian dan 1 wilayah persekutuan (Kuala Lumpur, labuan dan
purtrajaya), yang setiap setiap negri memiliki majelis Agama Islam yang
berkuasa untuk mengurusan agama, termasuk masalah zakat. Ketiga belas negri
bagian ini dikoordinasikan oleh kantor Perdana Mentri yang membawahi direktorat
kemajuan Islam, yang berkedudukan di wilayah kesekutuan.
E. Pengelolaan
Zakat di Indonesia
Pengelolaan zakat di indonesia hampir bisa
dipastikan ada sejak islam masuk ke
Indonesia. Karena secara ideologis, zakat merupakan salah satu pilar dalam
islam, dan muslim yang mampu namun menunaikan zakat, merasa keislmannya belum
sempurna. Pada masa awal awal Islam di Indonesia zakat dkelola secara
individual, nelum terlembagakan secara baik dan profesioanal. Karena itu, kalau
ditanyakan “Apa buktinya, bahwa umat Islam di Indonesia memperhatikan zakat?”
jawabnya hampir tidak ada. Jejak dan bukti lahiriyah praktik zakat di Indonesia
nyaris tidak berbekas. Lalu, mengapa zakat belum mempunyai monumen manfaat pada
masa lalu. Penyebab utamanya adalah masyarakat muslim pada saat itu membayarkan
zakat secara langsung dan bersifat personal. Mereka belom memahami dan
menghayati betapa besar manfaatnya pengelolaan zakat secara kelembagaan.
Berbeda dengan zakat, rukun Islam yang lain seperti
Haji dan Sholat, memiliki bukti lahiriah /monumen yang banyak dan menggambarkan
adanya perhatian umat Islam Indonesia. Misalnya, ribuan musola dan masjid yang
terbesar diseluruh indonesia adalalah bukti konkret perhatian umat Islam
Indonesia terhadap sholat, panggilan pak Haji dan bu Haji dan banyaknya asrama haji serta rumah sakit
haji, yang tersebar di beberapa daerah merupakan bukti konkret perhatian uamat
Islam Indonesia terhadap masalah haji.
Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia, sebenarnya
bisa dibicarakan berdasarkan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia itu
sendiri, dan bisa dibicarakan dengan melihat sisi uapaya dan perhatian umat
Islam terhadap terhadap urusan zakat. Kalau sejarah pengelolaan zakat di
Indonseia dibicarakan melalu sejarah kemerdejaan Indonesia, maka bisa dipilah
menjadi misalnya, zakat pada masa Belanda, Jepang dan masa setelah kemerdekaan
R.I, namun ketika dibicarakan dengan melihat bagaimana umat Islam memperhatikan
urusan tentang zakat.[10]
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang materi
pengelolaan zakat lintas sejarah, Zakat dikelola pemerintah. Nabi ikut turun tangan
sendiri dan memberi petunjuk operasionalnya, pada masa Abu Bakar Zakat di
kelola oleh pemerintah. Bahkan mereka yang membangkang membayar zakat
diperangi, pada masa Umar r.a Zakat
dikelola oleh pemerintah baitul mal dananya makin banyak berasal dari wilayah
yang ditaklukan, pada masa Ustman r.a Dikelola oleh pemerintah namun karena
gudang baitul mal penuh maka muzakki atas nama khalifah boleh langsung
membagikan kepada mustahiq, Sama seperti ustman Ali mengawasi sendiri, Puncak
keberhasilan pengelolaan zakat terjadi pada masa khilfah Umayyah dan Abbasiyah,
ada dua model pengklasfikasian pengelolaan zakat dan di mana model pertama
yaitu negara yang mewajibkan zakat sebagai kewajiban UU wajib zakat diantara
negaranya ialah: Arab Saudi, Libya, dan Pakistan sedangkan negara lainnya
menyerahkan pembayaran zakat kepada kesadaran masing-masing individu. Pengelolaan
zakat di indonesia hampir bisa dipastikan ada sejak islam masuk ke Indonesia. Karena secara
ideologis, zakat merupakan salah satu pilar dalam islam, dan muslim yang mampu
namun menunaikan zakat, merasa keislmannya belum sempurna
DAFTAR
PUSTAKA
Nazori
Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf,
Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI). 2003
Adiwarman,
Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Depok:
Gema Insani. 2007
Wahbah Al-Zuhayly. Zakat Kajian Berbagain Mashab. Bandung: PT Remaja Rodakarya. 2000.
Hml. 94
Nurudin,
Zakat Sebagai Intrumen Dalam Kebijakan
Fiskal. Jakarta: PT. GrafisIndo Persada. 200
Supani,
Zakat di Indonesia.Purwokerto: Stain
Press, 2010
Sulaiman rasjid, fiqh islam. Bandung: Pt Sinar baru
algensindo, 1992
[1] Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf,
Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI). 2003. Hml.180-182
[2] Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Depok: Gema Insani. 2007.
Hml 193
[3] Wahbah Al-Zuhayly. Zakat Kajian Berbagain Mashab. Bandung:
PT Remaja Rodakarya. 2000. Hml. 94
[5] Nurudin, Zakat Sebagai Intrumen Dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta: PT.
GrafisIndo Persada. 2006. Hml.2
[6] Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf,
Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI). 2003. Hml.191
[8] Sulaiman
rasjid, fiqh islam. Bandung: Pt Sinar baru algensindo, 1995. Hml 192
Komentar
Posting Komentar